Mengulas Sejarah dan Makna Peringatan Hari Disleksia Dunia
marihidupsehat – Setiap tanggal 8 Oktober, dunia memperingati Hari Disleksia Dunia (World Dyslexia Day), sebuah momentum penting untuk meningkatkan kesadaran terhadap gangguan belajar yang kerap disalahpahami. Peringatan ini bukan sekadar ajang kampanye, melainkan upaya global untuk mendorong pemahaman, penerimaan, dan dukungan terhadap individu penyandang disleksia di berbagai belahan dunia.
Awal Mula dan Latar Belakang Peringatan
Hari Disleksia Dunia pertama kali diperkenalkan pada awal tahun 2000-an oleh sejumlah lembaga pendidikan dan kesehatan di Inggris. Tujuannya sederhana namun bermakna: menghapus stigma terhadap anak-anak dan orang dewasa yang mengalami kesulitan membaca, menulis, atau mengenali huruf.
Disleksia sendiri bukanlah bentuk ketidakmampuan intelektual, melainkan gangguan pada cara otak memproses bahasa. Orang dengan disleksia kerap memiliki kecerdasan normal atau bahkan di atas rata-rata, namun menghadapi hambatan saat membaca cepat atau menulis dengan benar.
Dalam beberapa dekade terakhir, kesadaran akan pentingnya deteksi dini dan dukungan pendidikan bagi penderita disleksia meningkat pesat. Banyak negara kini menjadikan Hari Disleksia Dunia sebagai momentum kampanye nasional, menghadirkan seminar, lokakarya, dan kegiatan edukatif yang melibatkan sekolah hingga komunitas.
Makna di Balik Peringatan
Lebih dari sekadar simbol, Hari Disleksia Dunia mengingatkan masyarakat bahwa setiap anak memiliki cara belajar yang berbeda. Disleksia bukanlah hambatan untuk berprestasi. Sejumlah tokoh dunia seperti Albert Einstein, Leonardo da Vinci, hingga Steve Jobs disebut-sebut memiliki gejala disleksia, namun berhasil memberikan kontribusi besar bagi peradaban manusia.
Peringatan ini juga menjadi ajang refleksi bagi sistem pendidikan agar lebih inklusif. Banyak anak dengan disleksia mengalami tekanan di sekolah karena dianggap lamban atau tidak fokus, padahal mereka hanya membutuhkan metode belajar yang sesuai — seperti pembelajaran berbasis visual, penggunaan warna, atau pendekatan multisensorik.
Menurut World Federation of Neurology, sekitar 10% populasi dunia mengalami disleksia dalam berbagai tingkatan. Angka ini menunjukkan bahwa disleksia bukan kasus langka, melainkan realitas sosial yang perlu direspons dengan empati dan kebijakan yang tepat.
Kondisi di Indonesia
Di Indonesia, kesadaran terhadap disleksia masih berkembang. Pemerintah melalui Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Kemendikbudristek) telah mulai memperkenalkan layanan pendidikan inklusif yang memungkinkan anak dengan gangguan belajar tetap bersekolah di institusi umum.
Namun, tantangannya masih besar. Banyak guru di daerah belum memiliki pelatihan yang memadai untuk mengenali tanda-tanda disleksia pada siswa. Selain itu, akses terhadap psikolog pendidikan dan alat diagnosis masih terbatas. Akibatnya, tak sedikit anak dengan disleksia salah dipahami dan kehilangan kepercayaan diri sejak dini.
Sejumlah komunitas seperti Indonesian Dyslexia Center (IDC) dan Komunitas Disleksia Indonesia aktif mengedukasi masyarakat melalui media sosial, seminar, dan kampanye publik. Mereka menekankan pentingnya dukungan keluarga dan lingkungan, karena penerimaan adalah langkah pertama menuju keberhasilan anak disleksia.
Harapan dan Arah ke Depan
Peringatan Hari Disleksia Dunia setiap tahun membawa harapan baru: dunia yang lebih memahami bahwa keberagaman cara berpikir adalah kekuatan, bukan kelemahan. Pendidikan yang inklusif tidak hanya bermanfaat bagi penyandang disleksia, tetapi juga bagi seluruh pelajar untuk menghargai perbedaan dan mengembangkan empati.
Dalam konteks modern, teknologi juga berperan besar membantu mereka yang memiliki disleksia. Aplikasi pembaca teks, font khusus seperti OpenDyslexic, hingga perangkat lunak pembelajaran adaptif kini menjadi alat bantu efektif untuk mempermudah proses belajar.
Dengan dukungan pemerintah, lembaga pendidikan, serta masyarakat luas, penyandang disleksia diharapkan dapat terus berkembang tanpa stigma. Peringatan ini mengingatkan kita bahwa setiap otak bekerja dengan cara unik, dan keberagaman tersebut layak dirayakan.
Hari Disleksia Dunia 2025 menjadi momentum penting bagi Indonesia dan dunia untuk tidak hanya memahami, tetapi juga menghargai setiap individu yang berjuang melampaui batasnya. Karena pada akhirnya, kemampuan membaca bukan satu-satunya ukuran kecerdasan — dan keberhasilan sejati lahir dari penerimaan serta dukungan tanpa syarat.
